JALAN PANJANG EVOLUSI MANUSIA SAMPAH MENJADI MANUSIA BERSIH
ORANGTUA IDAMAN – Agar bisa diuraikan di dalam tanah, plastik dan kaleng minuman ringan yang isinya kita tenggak butuh waktu lebih dari 100 tahun. Terlalu lama jika dibandingkan dengan siklus hidup seorang anak manusia dari lahir hingga pulang kembali ke rahim Ibu Pertiwi.
Kita yang miskin dan bodoh ini, terlalu sering merasa senang dan bangga ditipu orang-orang super kaya dan pintar. Mereka membuat kemasan makanan ringan, bungkus rokok, botol shampo dan minuman ringan dengan harga jauh lebih mahal dibandingkan isinya. Lalu, kita rutin membeli, isinya dinikmati, lantas membuang kemasan yang didesain bagus serta berharga mahal itu sebagai sampah. Sekadar tahu, nilai kemasan itu rata-rata 60% dari total nilai produk.
Betapa bodohnya kita. Miskin, tapi justru telah memperkaya orang superkaya tadi, dengan cara membeli sampah.
Nilai Fungsional & Manfaat Diabaikan
Nilai manfaat dan fungsional yang kian diabaikan membuat kita semakin banyak menghasilkan sampah dari hari ke hari. Kemasan yang menarik berwarna menyolok membuat kita buta, terlena, lalu mengabaikan faktor manfaat dan fungsional produk di dalamnya.
Daur ulang pola pikir sampah menjadi pola pikir bersih (hijau) adalah cara yang tak terelakkan untuk menanggulangi problem sampah. Sehingga bisa tercipta Indonesia Bebas Sampah.
Pola pikir sampah sesungguhnya adalah ketidak sadaran. Sengaja dibetuk agar para pengusaha kaya itu lebih mudah menjejali orang miskin dengan produk besutan mereka. Lantas, bagaimana cara mereka meracik bius ketidak sadaran itu?
Menurut Idi Subandy Ibrahim, dalam bukunya Ecstasy Gaya Hidup, saat ini gaya hidup telah diubah menjadi komoditas, dan komoditas tersebut pun sepenuhnya dipermak untuk membangun gaya hidup.
Sementara itu, Dr. William Chang, OFMCap, dalam bukunya yang berjudul Moral Lingkungan Hidup, Krisis yang menimpa dunia kita secara umum, termasuk ancaman terhadap lingkungan hidup, sebenarnya bersumber dari penyalahgunaan kesadaran diri manusia.
Melalui tontonan, pengusaha-pengusaha kaya menciptakan ketidaksadaran massal. Mereka menggiring kita ke dalam jerat gaya hidup. Pada akhirnya, ketidak sadaran itu menjadi kesadaran baru. Padahal, di dalamnya tumbuh gaya hidup yang hanya mementingkan permukaan, penampakan, penampilan, kemasan atau kulit. Dalam ketidaksadaran itu, kita dijejali dengan produk buatan mereka.
Sinergi antara entertainmen yang dipertontonkan di televisi, internet dengan dunia periklanan menjadi alat yang ampuh untuk menumbuhkan gaya hidup konsumeris membuta dalam diri masyarakat. Kemasan dan gaya hidup menjadi magnet utama penarik minat masyarakat. Soal fungsi, manfaat dan nilai dari isi produk menjadi dikesampingkan.
Seharusnya, orang-orang kaya itu bertanggung jawab terhadap setiap dampak yang harus disangga oleh lingkungan hidup, akibat perputaran roda ekonomi perusahaannya. Sudah selayaknya mereka menerapkan Extended Producer Responsibility Indonesia. Mengusung prinsip kebijakan perlindungan lingkungan untuk mengurangi dampak lingkungan yang berasal dari siklus hidup produk dengan memperluas tanggung jawab produsen atas siklus hidup produknya.
Anak Boros, Generasi Sampah
Wanita, dan anak-anak menjadi target pasar utama. Sebab, wanita memiliki peran utama membentuk dan mendidik anak. Ketika roh konsumeris membuta itu merasuk ke dalam batin seorang ibu, anak pun menjadi mudah dirasuki pula.
Suatu hari saya mendampingi anak dan isteri berbelanja di sebuah koperasi. Tiba gilirannya, Bening, anak saya, memilih barang-barang kebutuhannya. Sejak masih di rumah, kami membimbing Bening mentukan barang-barang yang akan dibeli sesuai dengan kebutuhan. Anak yang masih berusia 5 tahun ini membuat daftar belanja dalam secarik kertas.
Saat berhadapan dengan etalase berisi sikat gigi, Bening sempat mengalami kebingungan memilih. Ada beraneka macam sikat gigi dengan bentuk kemasan berwarna-warni. Semuanya terlihat menyolok dan menarik. Segera saya mendamping Bening agar cermat memilah dan memilih produk. Isi dan harga menjadi pertimbangan utama. Kemasan nomor sekian. “Nak, Bening gosok gigi dengan sikatnya kan? Bukan dengan bungkusnya kan?” Papar saya kepada Bening saat itu.
Peran orangtua mengedukasi anak tak hanya sampai di situ. Orang tua seharusnya melatih anak agar efisien dan efektif memanfaatkan aset serta barang yang sudah dimiliki. Dengan demikian diharapkan anak bisa menjauhi sikap hidup boros.
Kian pekat sikap hidup boros seseorang, maka semakin rakus pula ia berkonsumsi. Pada gilirannya, kemasan yang dibeli pun kian berjibun. Orang seperti ini berpotensi besar menjejali bumi dengan sampah.
Oleh karena itu, seharusnya kita membimbing anak agar berhati-hati dan cermat menggunakan barang. Melatih cerdas menjadi konsumen. Proses ini dimulai dari hal sederhana. Misalnya, saat akan menggosok gigi, anak dibimbing cara mengeluarkan pasta gigi dengan cara yang benar. Pasta gigi dipijit dari bagian ujung. Cara seperti ini dapat meminimalkan pasta gigi tersisa di dalam tube. Setelah selesai menggosok gigi, anak didampingi merawat sikat gigi secara benar. Sehingga bisa lebih awet.
Berhemat itu bukan hanya urusan soal irit finansial semata. Lebih dari itu, berhemat adalah cara melestarikan sumber daya alam serta mengurangi pencemaran lingkungan, salah satunya yaitu sampah.
Bermain Secara Efisien
Upaya pengelolaan sampah dapat berjalan efektif dan efisien jika dimotori oleh sumber daya manusia yang efektif dan efisien pula. Permainan adalah media untuk berlatih dan belajar anak. Melalui permainan, kita bisa menanamkan nilai-nilai positif. Salah satunya yaitu bertindak efisien. Salah satu contonya yaitu dalam permainan menggunting dan melipat kertas.
Anak diajak agar bisa memanfaatkan kertas secara cermat dan tepat. Melakukan perencanaan sederhana, dengan cara menggambar rancangan sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Menyesuaikan ukuran rancangan dengan ukuran kertas yang dimiliki. Sehingga saat dipotong dan dilipat, kertas tidak ada yang tersisa.
Diharapkan, melalui cara ini, sikap efisien tercetak dan terbawa saat anak sudah dewasa. Pola hidup ini tercermin dalam setiap keputusan yang diambil. Senantiasa berusaha meminimalkan sisa atau sampah.
Ketidak efisienan yang mengakibatkan tersisanya sumber daya menjadi sampah. Hal tersebut adalah kerugian. Sampah hanyalah istilah yang dikenakan bagi sumber daya yang terlupakan. Orangtua dan ranah pendidikan punya peran mengubah cara pandang anak terhadap sampah. Dari sampah menjadi sumber daya yang masih punya nilai. Dapay diolah dan dimanfaatkan menjadi barang berdaya guna.
Dengan demikian, sesungguhnya sampah bisa dikelola sebelum masuk ke dalam tempat sampah (dibuang). Berbekal karakter efisien dan efektif, sisa sumberdaya bisa dimanfaatkan sebelum benda itu dibuang dan dikategorikan sebagai sampah. Perusahan yang dimotori oleh sumberdaya manusia yang efisien dan efektif secara tidak langsung telah mendukung Waste Management Indonesia.
Ketika benak terpola seperti itu, kita akan melihat sampah tetap memiliki nilai. Menghargai sampah sebagai sumber daya yang terlupakan dan bisa dimanfaatkan. Tak ada lagi sampah yang mengotori bumi, sungai, dan ,parit. Sebab sesungguhnya bumi ini adalah tubuh kita. Sungai dan parit adalah urat-urat nadi kita.
Andai nilai-nilai itu terpatri dalam sanubari setiap insan. Tak disadari, kita telah melalui jalan panjang evolusi menjadi manusia bersih (orangtuaidaman.com).