GreenEDU

PESAN SEBUTIR NASI BAGI ANAK NEGERI

ORANGTUA IADAMAN – Mengajak anak bersikap hidup hijau itu tak hanya dilakukan dengan jalan menanam pohon dan tak membuang sampah. Gaya hidup minim sampah makanan juga merupakan sikap hidup hijau.

Harusnya kita tahu, jalan hidup sebutir nasi itu panjang dan berliku. Butuh pengorbanan, usaha, tenaga, dan melibatkan banyak unsur lingkungan. Yuk kita cermati perjalanan sebutir nasi sampai ke meja makan.

Energi, waktu, tenaga, dan pemikiran tercurah sebelum bulir-bulir benih padi ditabur dan bertunas. Seratus empat puluh hari lamanya, petani bersusah payah mengolah, memupuk, mengairi tanah sebagai tempat tumbuh padi.

Mereka tak sendiri. Petani tradisional melibatkan sapi atau kerbau untuk mempersiapkan lahan padi. Tak jarang sapi dan kerbau itu harus berselimut pedihnya sabetan cambuk. Lelah, letih, juga pedih. Semua demi rasa kenyang jutaan perut manusia.

Setelah lahan siap, benih pun ditabur. Petani itu menambatkan harapan hidupnya kepada bulir-bulir padi. Mereka merawat tanaman padi sama seperti merawat bayi. Kelak, anak dan isteri sang Petani pun menuai berkah penghidupan dari sang padi.

Petani Mempersiapkan Lahan Pertanaman Padi Di Sawah. (Kredit Foto: Teguh Jiwa Brata)

Sejak lahan digarap, pesta kehidupan dihelat. Lahan padi bak sebuah meja makan besar. Beragam kehidupan turut berpesta dan berjamu bersama disana.

Saat padi-padi muda tumbuh, tak sedikit mahluk lain tergiur menikmati ranumnya dedaunan muda itu. Meski mereka berhak bertahan hidup, nyatanya kaum hama dipaksa menahan lapar, disingkirkan bahkan mampus akibat guyuran racun pestisida yang mangkus.

Demi rasa kenyang perut manusia, tak satu pun mahluk lain diperbolehkan turut mencicipi berkat dari tanaman padi.

Bahkan, alam dipaksa, diperah dan diperbudak demi terobati rasa lapar perut anak manusia.

Padahal, tanah adalah daging, air adalah darah yang mengalir dalam urat-urat nadi yang berupa sungai dan parit. Ke dalamnya, manusia menyuntikkan racun pastisida.

Kini, meja pesta akbar yang seharusnya menjadi ajang saling melayani antar mahluk itu berubah menjadi arena pemaksaan, pemerasan, perbudakan, dan pembantaian.

Sementara itu, di luar sawah milik pak Tani, banyak anak manusia tega menyia-nyiakan nasi. Bulir-bulir berkat itu hanyut dan mengendap di pelimbahan.

Atas Nama Kesejahteraan Manusia, Kami Harus Binasa. (Kredit Foto: Teguh Jiwa Brata)

Ada sekitar 271.349.889 jiwa orang yang hidup di negeri ini. Mereka rata-rata makan 2 -3 kali sehari. Jika, tiap orang menyisakan 1 butir nasi di piringnya setiap kali makan, berarti ada sekitar 814.049.667 butir nasi setiap hari yang dibuang.

Padahal, agar bisa menghasilkan padi dan siap dipanen, tanaman padi butuh waktu tumbuh selama sekitar 120 hari. Nah, dalam sehari ada sekitar 814.049.667 butir padi dibuang. Maka, kita bisa menghitung jumlah padi yang dibuang oleh manusia saat tanaman padi sibuk menyiapkan isi lumbung negara, yaitu sebanyak 814.049.667 x 120 = 97.685.960.040 butir.

Menurut reference.com, bobot sebutir beras itu sebesar 1/64 gram atau 0,015625 gram. Ketika sebanyak 97.685.960.040 butir padi dicampakkan itu berarti setiap sekali musim tanam padi ada 15.263,431 ton beras dibuang percuma.

Padahal, kebutuhan penduduk Jakarta terhadap beras hanya sebesar 3.078 ton per hari. Jadi, apabila dimanfaatkan secara benar, beras tercampakkan itu bisa mengobati rasa lapar penduduk Jakarta selama 3 hari.

Saat ini harga beras Rp9.550 per kg. Sehingga, jika dinilai dengan Rupiah, maka setiap sekali periode tanam ada dana segar Rp145,8 Miliar mengalir ke tong sampah dan pelimbahan. Anak terlantar dan fakir miskin menjadi makmur, jika dana itu bisa mereka nikmati.

KEBODOHAN YANG DIPELIHARA SEJAK ZAMAN ORDE BARU: Petani subsisten, menyimpan gabah dalam lumbung. Gabah ditumbuk sesuai kebutuhan, supaya beras tidak rusak oleh hama bubuk. Gabah tahan disimpan sampai tiga tahun. Pertanian modern di mana pun di dunia, mengeringkan gabah dengan dryer lalu disimpan dalam silo. Menggilingnya sesuai permintaan pasar, juga dengan alasan beras tidak rusak. Tetapi, sejak zaman Orde Baru, Bulog + pedagang menyimpan beras, bukan gabah. Dan kebodohan itu dipelihara sampai sekarang. Mereka pintar karena beras lebih mudah dikorupsi dibanding gabah. (F. Rahardi)

Menyisakan makanan itu tak hanya hedonis, namun juga egois. Abai terhadap hak kehidupan sesama dan mahluk lain. Alpa terhadap kelestarian lingkungan hidup yang menjadi payung keselamatan semesta.

Sikap berdisiplin tak menyia-nyiakan makanan harus ditanamkan sejak usia dini. Membimbing anak agar mengambil makanan sendiri secukupnya. Melatih mereka menghabiskan makanan yang sudah diambil.

Paling tidak cara di atas mengandung 2 nilai keutamaan. Yang pertama, melatih anak cakap menakar kemampuan perut masing-masing. Nilai yang ke dua yaitu, melatih anak bertanggung jawab. Makanan yang dipilih dan diambil wajib dihabiskan.

Sikap hidup bebas sampah makanan seperti itu nampaknya sudah luntur. Taraf hidup yang kian makmur justru tak membuat kita bersyukur.

Kemakmuran dan pangan murah justru membuat banyak orang tak menghargai makanan. Karena murah dan gampang didapat, kini makanan dianggap sebagai sesuatu yang murahan dan gampangan.

Ada kecenderungan, semakin kenyang perut, kian lengah lah kita. Semakin makmur, semakin besar pula kealpaan kita untuk bersyukur. Semakin makmur, kita justu semakin kerap menyepelekan makanan. Terlalu gampang berkata tak enak lantas dibuang.

Sebutir nasi itu berisi sejuta satu kehidupan. Di dalamnya berisi pengorbanan mahluk lain, pelayanan dari alam, dan persembahan kasih pelaku usaha pertanian kepada anak manusia. Banyak energi di dalamnya karena melibatkan banyak unsur alam.

Sebutir nasi berisi segudang berkah. Berkah itu adalah perwujudan dari doa, pengharapan, dan pengorbanan dari setiap unsur yang terlibat menyiapkan padi hingga menjadi nasi di meja makan

Menghargai makanan, berarti menghormati nilai suci kehidupan. (orangtuaidaman.com)

error: Content is protected !!