BUKU HARIAN PETANI ORGANIS: SELURUH PROSES HARUS ORGANIS
ORANGTUA IDAMAN – Produk organis bukan sekedar produk nir pestisida. Seluruh proses yang dilalui harus organis. Dimulai dari proses produksi, pengolahan, pemasaran, sampai proses konsumsinya.
Tuliasan ini diambil dari sebuah kisah nyata seorang Petani Muda yang selalu ingin memperdalam pertanian organis. Semoga kisah kecil ini bisa menambah pemahaman kita pada pertanian organis
Pribadi petani harus organis
Langkah apa yang pertamakali harus dilakukan ketika kita akan membangun sebuah pertanian organis? Jawabanya sudah pasti bukan lahan yang terbebas dari pestisida. Melainkan pembentukan kepribadian pertani yang organis. Hati egois harus dicongkel dan dicabut. Lalu ditanami lagi dengan hati baru yang bersifat Organis.
Pertengahan bulan Oktober 2002 Paguyuban Tani Lestari mengirim saya ke lereng barat Gunung Gede Panggrango. Di sana saya bisa nyantrik dan lebih memperdalam ilmu pertanian organis. Di kota asinan itu saya digembleng menjadi seorang petani organis. Cara hidup sederhana, disiplin, efisien, efektif dan tercencana adalah norma utama hidup organis.
Setiap pukul 5.30 pagi saya dan kawan-kawan harus sudah bangun dan mandi. Pemakaian air tak boleh boros. Jadi mandi harus dilakukan dengan cara wajar dan secukupnya. Air buangan mandi dan bekas cucian wajib ditampung. Setiap minggu sekali bak penampungan dikontrol. Tugas ini dilakukan secara bergiliran. Setelah bak penampung penuh, kami bertugas menyiramkan limbah itu ke tanaman di sekitar asrama. Lumayan, bisa jadi pupuk cair gratisan.
Seusai mandi, kami harus segera bergegas sarapan dengan menu sederhana. Sebagian besar menu yang dihidangkan berupa sayur bebas pestisida hasil jerih payah kami di kebun. Semua makanan diolah dengan bumbu alami. Segala bentuk penyedap rasa buatan diharamkan. Untuk memenuhi kebutuhan gizi, disediakan menu bonus berupa tempe dan tahu. Kedua menu itu dimasak dengan cara diiris tipis. Saking tipisnya, kami menjuluki lauk tersebut sebagai “tempe 2 dimensi”. Sebab hanya punya ukuran panjang dan lebar saja.
Tak boleh ada sisa nasi sedikitpun dalam piring. Sebab, kami sadar betul butiran nasi itu tak lain adalah penjelmaan dari butiran keringat kami di kebun. Jadi, butiran nasi itu adalah bagian dari hidup kami. Bila kami mengahargai butiran nasi, artinya kami menghargai hidup dan jerih payah kami. Rejeki pun akan selalu mengalir untuk kami.
Sisa makanan yang tak mungkin tercerna oleh perut, kami kumpulkan. Misalnya yakni tulang belulang, duri ikan, tongkol sayur yang keras, kulit buah dan kulit kacang. Barang tersebut masih bisa dikomposkan. Lalu dimanfaatkan sebagai memupuk tanaman. Andai ini dilakukan semua orang, tentu tanah menjadi semakin subur, tak ada lagi timbunan sampah pemicu banjir.
Terkadang kami merasa sangat prihatin menyaksikan acara yang ditayangkan televisi. Banyak adegan yang sama sekali tidak menghargai makanan. Sebuah iklan produk menayangkan adegan roti yang jatuh dan diinjak-injak dan perlombaan yang menghabur-hamburkan makanan. Apakah semua itu adalah simbol dari sebuah budaya modern? Atau justru sebaliknya, sebuah keterbelakangan budaya? Mungkin krisis di negara subur ini adalah sebuah akibat karena kita terlalu sering tidak menghargai makanan (rizki).
Setiap malam minggu kami berebut mencari posisi strategis di depan meja makan. Sebab pada saat itu akan disuguhkan menu istimewa berupa daging ayam. Kalau sudah begini soal pacarpun peduli setan. Meski setiap hari menyantap menu sederhana, kami tetap sehat walafiat. Hal yang lebih penting, sebuah nilai luhur organis telah ditanamkan di atas meja makan. Semangat saling melayani dan rela berkorban telah tersantap secara tidak langsung melalui acara makan bersama. Tradisi tersebut mungkin sudah punah di jaman serba “praktis” ini.
Proses produksi pun organis
Setelah sarapan kami harus segera meluncur menuju kebun. Semua target dalam program kerja harus dicapai. Setiap gejala dan peristiwa di kebun harus dicermati dan dicatat. Kami dituntut agar dapat mengoptimalkan sekaligus mengembangkan potensi alam yang ada. Segala asupan bahan baku dari luar ditekan seminimal mungkin. Agar tidak menghasilkan limbah, kerja harus dilakukan secara cermat.
Hal itu tak sebatas di soal pertanian saja. Pembuatan bangunan harus direncanakan secara organis. Setiap jengkal tanah punya nilai dan arti besar. Air hujan harus bisa meresap kembali ke dalam perut bumi. Sebagian besar bahan bangunan berasal dari sumberdaya alam yang tersedia. Semisal batu dan pasir. Di sana atap bangunan pun diberdayakan. Kami tinggal di asrama beratap kebun sayur. Andai hal serupa dilakukan banyak orang, tentu kita tak perlu takut kelaparan. Harga sembako melambung pun kita tak khawatir.
Sebuah aliran sungai melintas di tengah kebun. Airnya tak pernah kering. Dari sungai itu kami berhasil membangun sebuah pembangkit listrik. Bangunan pembangkit listrik dan bendungan dibangun dari susunan batu yang kami kumpulkan dari seluruh penjuru kebun. Hanya semen dan tulang besi saja yang kami “impor” dari luar kebun.
Semua pekerjaan di kebun harus sesuai dengan rencana yang sudah disusun. Harus rapi, tanpa sisa terbuang percuma (sama seperti saat kami makan). Kebutuhan pupuk kandang, benih, dan bibit sudah ditakar pas. Hasil panen pun sudah ditarget. Tak boleh meleset. Sisa tanaman hasil proses pemanenan dimanfaatkan sebagai kompos.
Kami sangat menghormati semua mahluk yang tinggal dalam kebun. Bagi kami, tanah adalah asal mula kehidupan. Tanah adalah rahim seluruh mahluk hidup. Ketika kita meracuni tanah itu berarti kita memasukkan racun dalam tubuh kita. Hal itu juga berlaku untuk air. Mencemari aliran parit dengan racun, berarti meracuni aliran darah dalam urat nadi kita. Tanah adalah tubuh kita, sedang air adalah darah kita.
Sebagai petani organis, tugas kami di kebun adalah melayani seluruh unsur lingkungan yang ada. Sebab dengan demikian, kami percaya mereka akan melayani dan merawat hidup kita pula secara baik.
Kami menanam beraneka sayur di atas bed. Dalam pertanian konvensional bed adalah singkatan untuk bedengan (bidang tempat bercocok tanam). Di kebun kami, istilah itu tak berlaku. Kami memiliki istilah sendiri yang berbeda dan lebih layak bagi para tanaman. Bed adalah “tempat tidur” bukan bedengan. Tempat tidur untuk tanaman. Jadi bed harus selalu dalam kondisi nyaman. Layaknya tempat tidur kita. Kami dilarang keras menginjak bed. (Logikanya, hal itu bisa membuat tanah jadi keras). Di atas bed itu tanaman harus disayang. Kalau semua ini telah dilakukan secara benar, tak mustahil tanaman akan memberi hadiah yang berlimpah kepada kita.
Tanah di kebu pantang telanjang. Sengatan terik matahari bisa membuat tanah manjadi “Mati” (tanah tanpa kehidupan = tanah mati). Cangkul, bajak dan traktor adalah benda haram di kebun kami. Sebab, benda-benda itu bisa membunuh aneka binatang dalam tanah. Kami mengolah tanah dengan bantuan garpu. Tanah tak boleh dibolak-balik. Hanya diangkat saja. Supaya udara segar bisa masuk kedalam tanah.
Tanah di kebun tak boleh kecapaian. Pola tanam harus diatur. Jenis tanaman harus digilir. Periode pertama tanah ditanami dengan jenis tanaman sayur daun (leafy), periode berikutnya ditanami dengan sayur buah (fruit), giliran berikutnya adalah tanaman sayur golongan akar (root) misalnya wortel, beet, dan lobak. Setelah semua jenis tanaman mendapat giliran, berarti tanah harus diistirahatkan. Selama periode ini bed ditanami dengan tanaman golongan soil builder alias tanaman kacang-kacangan. Flora ini mempu mengembalikan kesuburan tanah.
Ada beberapa unit kerja dalam kebun kami. Yakni penyedia benih, penyedia pupuk, pembibitan, Instalasi kebun, Riset atau penelitian, bagian produksi, pengemasan, dan pemasaran. Setiap unit harus mampu menghidupi diri sendiri dan juga menghidupi unit lain yang berkaitan. Unit-unit usaha ini tersusun rapi. Terorganisir secara organis. Lakyaknya tubuh mahluk hidup (organisme). Tiap organ mampu memberi kehidupan dan salaing melayani kepada organ tubuh yang lain. Seperti inilah mekanisme kerja pertanian organis di kebun kami.
Jalur pasar organis
Jadi pertanian organis itu bukan hanya urusan antipestisida saja. Tapi sangat luas. Bahkan, sampai urusan purna jual pun kami memiliki idealisme organis. Kami selalu mengharapkan agar konsumen di pasar juga bisa bersifat organis. Terutama bagi distributor. Mereka sudah selayaknya memasarkan produk pertanian organis secara organis pula.
Kondisi pasar harus organis. Pasar seperti itu harus bisa saling menguntungkan (memberi keuntungan). Bagi kami, sebuah produk tak bisa dikatakan sebagai produk organis tanpa melalui jalur pemasaran yang organis pula. Sekalipun produk itu nir pestisida. SELURUH PROSES HARUS BERSIFAT ORGANIS.
Tepat pukul 5 sirine panjang mengalun. Itu berarti acara berjemur di kebun telah usai. Selepas bekerja keras kami diberi waktu untuk melepas lelah, makan dan mandi. Pada pukul 7 kami harus melakukan evaluasi sekaligus menyusun agenda kerja untuk esok hari.
Seusai mendiskusikan segala problem di kebun, kami diberi kesempatan 1 jam bersantai. Melihat TV. Itu saja bukan acara TV konvensional yang disiarkan oleh stasiun televisi. Kami hanya diperkenankan menyaksikan VCD ilmu pengetahuan. Terutama yang ada kaitannya dengan mahluk dan lingkungan hidup. Sebagai obat capek, sekeping coklat dari Swiss dibagi kepada kami. Cokelat itu harus kami cuil-cuil dan dibagikan sampai merata. Jumlah sedikit tak masalah. Kami puas karena rasa kebersamaan yang selalu tumbuh subur. Berkorban, melayani dan memberi adalah roh pertanian organis. Tepat pukul 10 kami harus sudah masuk ke dalam ruang tidur. Mimpi indah KEHIDUPAN ORGANIS pun hadir kembali.
Hidup memang harus selalu memberi dan melayani (orangtuaidaman.com).