TIPS BERJAYA DI PASAR MAYA: MENJADI PENJAJA LEKUK EKSOTIS INDONESIA
ORANGTUA IDAMAN – Internet telah menelanjangi kehidupan manusia. Segala sisi dan sudut tersembunyi dapat diekspos secara gampang. Bagi yang berjiwa kreatif, dan gemar berpikir positif, inilah peluang besar!
Sumber daya yang khas dapat diolah menjadi pembeda serta mampu memberikan kekuatan produk. Ciri khas lokal itu sulit dijiplak bahkan malah tak bisa ditiru pengusaha di tempat lain.
Indonesia punya banyak keanekaragaman, diantaranya keanekaragaman hayati, budaya, dan kuliner. ‘Wajah’ beragam ini berpotensi diberdayakan menjadi sumber kemakmuran. Salah satunya dengan menjual aneka rupa ‘wajah Indonesia’ di dunia maya.
Sekarang, penjaja tak lagi bisa mengelak dari pasar maya. Tak terkecuali bagi pelaku UMKM. Siapa pun yang ingin berkembang, terjun di dunia online itu wajib. Sosial media, dan etalase di situs marketplace saja tak cukup.
Website mutlak harus dimiliki. Sosial media, aplikasi, dan situs marketplace bisa diibaratkan sebagai brosur. Berfungsi untuk menggiring calon pelanggan berkunjung ke toko. Sementara itu, tokonya adalah situs bisnis yang sudah kita bangun.
Membuat website tak sesulit seperti yang dibayangkan. Cukup membeli hosting dan domain. Salah satunya adalah Exabytes Indonesia. Langkah berikutnya yaitu mengunggah platform website sesuai pilihan.
Ada banyak keuntungan yang disodorkan Exabytes Indonesia lho. Diantaranya yaitu Beli Hosting Gratis Domain, Program Afiliasi Terbaik, dan Reseller Hosting. Cuma itu? Enggak… masih banyak keuntungan lain. Pokoknya, kunjungi dan ‘obok-obok’ langsung saja situs Exabytes Indonesia, gih… sana!
Nah, berikutnya kita bisa memajang ragam produk eksotis khas Indonesia dalam situs tersebut. Apa saja contoh produk eksotis itu? Dan bagaimana tips berjaya di pasar maya? Yuk kita simak rame-rame contoh dan pengalaman pelaku UMKM berikut!
Membungkam Pembebek Kapitalis
Pembebek adalah orang yang suka meniru pihak lain. Sifat seperti ini kerap dianut pelaku usaha. Kaum bebek gemar menjiplak model usaha dan produk rival. Kemudian menjual barang tiruan itu dengan harga lebih murah. Ulah para bebek kerap memicu harga produk di pasar ambyar. Dampak lebih parah terjadi bila si bebek mengantongi modal besar. Mereka tak malu meniru produk yang sedang menjadi market leader, mencetaknya secara massal.
Dalam sebuah situs marketplace, seorang produsen aksesoris mengeluh produknya (bros jilbab) dijiplak perusaan Negeri China. Hasil penjiplakan itu dijual di marketplace yang sama dengan harga lebih murah. Di pasar maya, plagiat itu didukung gerombolan reseller culas. Mereka bekerja bagaikan buzzer. Membentuk simbiosis dengan importir dan produsen asing.
Tak khayal pelaku usaha aksesoris berskala UMKM itu kalang kabut akibat ulah importir, produsen asing, dan reseller yang berperan sekaligus sebagai buzzer.
Ironis, produsen aksesoris itu adalah trendsetter desain bros kerudung yang dijiplak. Sebagai negara muslim terbesar di dunia, jilbab banyak diminati di Indonesia. Latar belakang sosial ini menjadi peluang pagi pelaku UMKM, sebagai penyedia jilbab. Faktanya, peluang tersebut justru direnggut oleh pengusaha dari Negeri Tirai Bambu.
Agen intelijen pengusaha asing ternyata diam-diam mengintai fenomena tren itu. Maraknya perdagangan bros jilbab di marketplace menjadi barometer tren pasar. Setelah produk itu marak di pasar maya, produsen asing meniru, memproduksi secara massal lalu membanjiri pasar dengan produk besutannya. Harganya lebih murah daripada produk buatan anak negeri.
Lantas mengapa UMKM lokal keok? Modal, bahan baku, teknologi dan efisiensi produksi dikuasai produsen asing. Akibatnya mereka leluasa mempermainkan harga.
Dari sisi bahan baku, pelaku UMKM lokal kalah. Pengalaman ini pernah saya alami saat melakoni usaha kaos unik untuk anak. Saat itu, saya harus siap dan waspada mengantisipasi kenaikan harga bahan baku kaos (kain katun).
Salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah stok bahan baku dalam jumlah banyak. Melalui cara ini, keuntungan dari potongan harga grosir bisa diraup. Selain itu, kita juga bisa terhindar dari fluktuasi harga bahan baku. Namun, praktiknya strategi seperti ini hanya milik pelaku usaha bermodal besar. Sebagai pelaku UMKM, saya tak mungkin melakukan strategi tersebut.
Strategi alternatif yang saya lakukan yaitu bekerja sama dengan produsen kaos polos untuk orang dewasa. Kami memesan kaos anak dengan memanfaatkan kain sisa produksi mereka untuk membuat kaos anak. Cara seperti ini terbukti bisa menyiasati fluktuasi harga. Akan tetapi, hanya bisa bertahan dalam kurun waktu tertentu, kenaikan tetap tidak terelakkan. Sebab, bahan baku yang digunakan masih diimpor. Sementara faktanya, nilai tukar Rupiah cenderung kian turun dari waktu ke waktu. Akibatnya, harga katun pun selalu melangit.
Menjual Spesifik Lokal Yang Eksotis
Alternatif lain yang bisa dilakukan agar bisa bersaing dengan pengusaha asing yaitu memanfaatkan sumber daya lokal sebagai bahan baku alternatif yang tak ditemukan di negara atau daerah lain.
Sumber daya lokal itu berupa kekayaan alam dan budaya. Kekayaan alam meliputi flora, fauna, dan sumber daya mineral (batuan). Khusus untuk batuan, kita bisa melirik aneka batu mulia sebagai salah satu komponen aksesoris pakaian, misalnya sebagai manik-manik bros jilbab. Bukan kah tren akik pernah meledak? Bukti bahwa batu mulia itu indah. Kini, tren akik sedang tiarap. Harganya pasti juga murah. Nah, inilah peluang!
Ada banyak flora terlupakan berpeluang bisnis. Salah satu contohnya yaitu Buah Nyamplung (Calophyllum inophyllum). Flora ini hidup di pesisir berpasir. Konon, bijinya banyak digunakan sebagai bahan kerajinan. Aneka aksesoris tas berbahan biji buah nyamplung dulu banyak dijajakan di Kawasan Wisata Malioboro, Yogyakarta.
Produk eksotis yang lain dijajakan oleh Tentrem Sriminarsih atau yang akrab disapa Sri, kulit kayu bisa menghasilkan omzet Rp 20 juta per bulan. Di pasar internasional ia tak gentar bersaing dengan produk Cina. Sri tak direpotkan oleh para buzzer produk asing.
Di bawah bendera Askara Art Gallery, kerajinan kulit kayu buatan Sri sukses menembus pasar internasional. “Saya ingin memanfaatkan bahan yang terbuang menjadi berguna. Kayu Lantung (Artocarpus Altilis) selama ini hanya dijadikan kayu bakar oleh masyarakat Bengkulu,” kata Sri memberi alasan.Tahun 1999 Sri mulai mengolah idenya untuk memanfaatkan kulit kayu pohon Lantung menjadi aneka kerajinan menarik dan mempunyai nilai jual.
Berbagai jenis barang yang dihasilkan, seperti tas, sandal, gantungan kunci, topi, tempat tisu, dan lain-lain terlihat begitu cantik dan artistik. Keunggulan produk ini, kuat, tidak mudah putus, dan ramah lingkungan.
Pengambilan kulit kayu sama sekali tidak merugikan pertumbuhan pohon Lantung. “Kan kalau pohon itu dipotong, nanti bawahnya numbuh lagi. Semakin dipotong, bagian yang kecil akan semakin cepat tinggi,” jelas Sri. Pohon Lantung tumbuh subur di hutan-hutan yang ada di Bengkulu bagian selatan. Pohon yang diambil kulitnya biasanya pohon yang sudah berumur 10 tahun.
Flora eksotis tak hanya bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan. Berbagai tanaman endemik Indonesia juga bisa diberdayakan sebagai bahan baku makanan. Contohnya yaitu biji Pohon Gayam (Inocarpus fagifer). Biji buah gayam dapat dimanfaatkan untuk membuat keripik.
Buah gayam juga bisa diolah menjadi minuman. Bahkan, berpotensi dijadikan sebagai bahan baku alternatif pembuat tempe.
Lain ladang lain belalang. Lain daerah, lain pula potensi dan keunikan yang bisa digarap. Adalah H.Wawan Gunawan pensiunan karyawan sebuah bank swasta yang sukses mengolah kulit jeruk bali menjadi makanan khas bernama kalua.
Bahan baku kalua diambil dari bagian dalam kulit jeruk bali. Bahan itu direbus dan dicampur dengan gula. Rasa camilan ini membuat goyang lidah. Penampilan luarnya kering, terkesan keras. Ketika digigit bagian dalamnya lunak. “ Rasanya? Mmmhh … manis! Ditemani teh pahit lebih enak,” kata Wawan sambil mengambil kalua dan meminum secangkir teh pahit.
“Awalnya istri saya punya ide untuk memproduksi kalua (makanan dari kulit jeruk, Red),” kata Wawan. Apalagi dulu sang istri sudah hafal cara membuat makanan tersebut. Resep kalua ia peroleh secara turun temurun dari keluarganya sejak tahun 1930. Menurut penuturan Wawan nenek sang istri yang pertama kali membuat makanan ini.
Ada banyak pilihan warna kalua. “Warna ini tergantung rasanya,” ujar Hj. Elin Ratna Asmara istri Wawan. Warna kecoklatan untuk rasa mocca, merah untuk rasa stroberi, kuning untuk rasa jeruk, hijau untuk rasa pandan, dan warna putih untuk rasa kelapa.
Masih banyak jenis flora lain yang dapat dimanfaatkan serta diberdayakan sebagai pendulang laba.
Sekali Tepuk Dua Laba Terbilang
Bisnis cepat berkembang jika memiliki roh kebaikan. Dengan kata lain, bisnis sebaiknya tak hanya sebatas mengejar keuntungan. Namun seyogyanya juga mengusung nilai moral, sosial, keutamaan, dan pelestarian.
Konon, di kawasan wisata Bebeng, Kaliadem, Yogyakarta (sekarang menjadi kawasan wisata vulkanik), ada seorang penjaja rangkaian bunga kering. Salah satu bunga yang digunakan adalah Edelweiss Jawa.
Bagi yang tak berpikir pajang, akan segera menuduh penjaja rangkaian bunga itu merusak kelestarian si bunga abadi. Namun, sesungguhnya, penjaja bunga itu punya sepetak lahan yang ia tanami Edelweiss.
Orang berjiwa wirausaha seharusnya menangkap hal seperti itu sebagai peluang. Bekerjasama dengan pembudidaya Edelweiss. Merangkai kreasi bunga kering bersama mereka.
Melalui cara seperti ini diharapkan tak ada lagi pemetik bunga Edelweiss liar. Kebutuhan bunga Edelweiss bisa dipenuhi dari kebun-kebun petani yang mebudidayakannya. Keberadaan edelweiss di alam pun menjadi tak terusik dan tetap lestari.
Bersama dengan produk edelweiss kering hasil budidaya, disebarkan pula semangat pelestarian lingkungan hidup. Story telling menjadi bumbu pelezat sebuah produk.
Nah, ini berarti sekali tepuk, dua laba terbilang (orangtuaidaman.com)