PSIKIS

TIPE ORANGTUA SEPERTI APAKAH KITA? YUK DISIMAK BERSAMA…

ORANGTUA IDAMAN – Mendidik dan membimbing anak hendak lah bersikap obyektif. Menyadari kekurangan diri, memperbaikinya, serta mempertahankan karakter baik adalah modal yang harus dimiliki orangtua sebelum mendidik anak.

Karakter buruk itu bagai karma yang diwariskan secara turun-temurun. Namun, ini bukan soal pewarisan genetis. Melainkan sepenuhnya adalah kemampuan orangtua menilai dirinya sendiri secara obyektif.

Menyadari karakter buruk yang mungkin dicetak oleh orangtua dan leluhur kita sebelumnya. Mengelolanya agar karakter buruk itu tidak kita teruskan kepada anak-anak.

Yuk kita simak bersama tipe-tipe orangtua berikut ini. Kemudian bertanya kepada diri sendiri dan merenung, termasuk orangtua yang seperti apa kah diri kita?

OTORITER
Sering kah kita mengekang perilaku dan ekspresi anak? Serba melarang dan membatasi anak. Jika jawabannya ya, maka berarti Bunda adalah tipe orangtua otoriter.

Orangtua seperti ini berpotensi mencetak karakter anak menjadi anak yang patuh dan segan, tetapi sekaligus merasa diperlakukan tidak adil.

Namun jangan salah, seiring pertumbuhan, anak justru akan menjadi pribadi yang suka melawan orangtua serta orang-orang yang punya otoritas.

Orangtua otoriter juga berpotensi membentuk anak berkepribadian sulit bersosialisasi, kaku, tak punya rasa percaya diri, dan egois.

PEMURAH
Pemurah tak selamanya bijak dan baik. Dalam beberapa hal, sikap pemurah justru dapat menjadi racun yang berbahaya.

Orangtua tipe ini adalah kebalikan dari orangtua bertipe otoriter. Serba memperbolehkan setiap perbuatan anak.

Akibat didikan yang serba boleh, anak menjadi cepat dewasa. Namun ia tumbuh sebagai pribadi penuntut, egois, tidak bertanggungjawab, manja, mudah tersinggung saat menghadapi penolakan atau perbedaan pendapat.

Ada banyak contoh orangtua yang menjadi penganut tipe pemurah. Yaitu orangtua yang selalu tak tega menghadapi rengekan permintaan anak. Selalu mengabulkan permintaan anak.

Kerap kali orangtua tak bisa memisahkan antara substansi ‘nilai mendidik meminta secara benar’ dengan ‘materi’ yang diminta anak.

Umunya, orangtua terjebak kepada substansi ‘materi’ yang diminta anak.

Misalnya, ketika seorang anak meminta sebuah mainan, orangtua pemurah secara serta-merta mengabulkan permintaan itu. Dalam pemikirannya “Ah hanya minta mainan saja kok. Toh, harganya murah”.

Nilain meteri yang selalu diukur oleh orangtua seperti itu.

Sebaliknya, orangtua bijak tak akan sertamerta mengabulkan setiap permintaan anak. Makna mendidik dan mencetak karakter anak yang selalu diutamakan.

Orangtua bijak akan menunda permintaan anak. “Bunda akan membelikan permainan itu, setelah Ananda naik kelas dan berprestasi”.

Cara tersebut dapat menanamkan banyak hal positif dalam diri anak. Yaitu mengajarkan makna perjuangan untuk meraih sesuatu. Dengan demikian diharapkan anak memiliki sikap ulet dan gigih.

Nilai positif yang lain yaitu, mendidik agar anak menjadi pribadi yang bersabar. Tidak menjadi pribadi penuntut. Selalu mengharuskan dituruti. “Jika ananda meminta, maka harus dituruti sekarang!”.

Pribadi penuntut mudah terpukul ketika keinginannya tak terwujud. Lembek dan mudah putus asa. Atau justru sebaliknya, menjadi pribadi ambisius yang keinginanya harus selalu tercapai. Menghalalkan segala cara. Apa pun akan dilakukan demi terwujudnya keinginanya itu.

PLIN-PLAN
Tipe ini paling banyak dianut orangtua saat ini. Tak sedikit orangtua yang tak konsisten dan konsekwen dengan perbuatannya sendiri.

Orangtua seperti ini membuat anak bingung. Sehingga tak bisa membedakan perbuatan baik dan buruk, benar dan salah.

Akibatnya anak akan melakukan perbuatannya sesuka hati.

Misalnya, orangtua yang melarang anaknya merokok, sementara dirinya sendiri justru perokok berat. Contoh yang lain yaitu, orangtua yang meminta agar anaknya rajin belajar, sedangkan orangtua tersebut membaca pun enggan.

Ingin agar anaknya rajin bersekolah, namun orangtua itu enggan bersinggungan dengan sekolah. Tak peduli terhadap setiap aktifitas anak di sekolah dan perkembangan studinya. Menyerahkan sepenuhnya anak kepada pihak sekolah. Selebihnya “masa bodoh”. Sehingga kerap menyalahkan pihak sekolah. Terutama ketika menghadapi situasi tak kondusif. Contoh: banyak orangtua menyalahkan sekolah ketika pembelajaran daring akibat pandemi covid-19.

Karakter plin-plan atau tak konsisten juga dapat dipicu oleh tidak adanya kesepakatan antara Bunda dan Ayah dalam menentukan standar nilai yang diberlakukan.

Kehadiran pihak ke 3 pun kerap merusak konsistensi aturan yang diberlakukan di rumah. Orang ke 3 itu adalah kakek dan nenek dari Ananda.

Yang pasti, orangtua harus lah tegas. Bagaimana pun kendali terhadap keputusan kebijakan ada di tangan orangtua (bukan pihak ke 3).

Anak butuh diperlakukan adil dan konsisten. Tiap anak itu kebutuhannya berbeda. Harus disesuaikan dengan usia dan kepribadiannya.

Orangtua seharusnya menyadari sebagai tempat anak bergantung menentukan keputusan dan kebijakan yang konsisten (orangtuaidaman.com)



SIMAK JUGA ARTIKEL MENARIK INI

error: Content is protected !!