PONSEL DAN INTERNET: KAMBING HITAM YANG EMPUK DAN GURIH
ORANGTUA IDAMAN – Sebagai orangtua, mawas diri adalah hal yang sulit. Lebih mudah membidik ponsel beserta setiap perkembangan teknologi sebagai kambing hitam yang empuk.
Adam (bukan nama sesungguhnya) adalah putra seorang guru. Selain berprofesi sebagai pengajar, Ibu Adam pun aktif dalam berbagai organisasi, bahkan dikenal sebagai guru pintar.
Kecakapan seperti itu membuat Ibu Adam laris menerima pesanan bimbingan belajar. Tak sedikit orangtua siswa meminta Ibu Adam agar membimbing belajar anak-anaknya.
Ironis, sebagai putera guru, Adam justru belum cakap membaca. Padahal anak itu sudah memasuki semester ke dua di kelas satu. Akibatnya, Adam gagal total menggarap ujian semester lantaran tak cakap membaca.
Usut punya usut, ternyata orangtua Adam (Bapak dan Ibu) tak pernah membimbing anak sulungnya belajar di rumah. Pasutri itu seratus persen menyerahkan urusan pendidikan anaknya kepada pihak sekolah.
Bagi orangtua Adam, sepuluh sampai limabelas menit setiap hari mendampingi Adam belajar dalah harga yang terlalu mahal.
Ketenaran menjadi guru privat serta pamor sebagai guru cerdas rupanya jauh lebih berharga dibandingkan masa depan Adam. Mereka sibuk berjuang, namun melalaikan esensi perjuangan yang dilakukan.
Adam terlihat diperjuangkan. Namun sejatinya anak itu diacuhkan.
Disuap Ponsel Pintar
Sejak kecil, Adam terbiasa menggenggam smart phone dengan aneka sajian game di dalamnya. Ponsel pintar adalah sahabat Adam dalam kesepian.
Bagai permen, smart phone senantiasa disodorkan agar tak merengek, diam anteng tiada mengusik ambisi egois orangtuanya.
Saat Adam asyik menikmati sajian hiburan dalam ponsel pintar, sang orangtua sama sekali tak pernah mendampingi.
Orangtua dan Adam, semua sama-sama hidup di alam mereka masing-masing. Terasing dalam kesendirian dan kesepian.
Ketika kawan sebaya berlari kecang, melangkah jauh, lancar membaca, cakap menulis pun pandai berhitung,… mata kepala orangtua Adam terbelalak.
Lantas, mereka mendorong putranya bergegas berlari kencang mengejar ketertinggalan itu.
Sementara Adam terlanjur larut, terjerat dalam pikat dan buai mesra ponsel pintar. Serta-merta Adam dipaksa mengakrabi buku-buku pelajara. Meninggalkan sahabat karibnya (ponsel) dalam kesepian.
Rasa enggan berkawan buku pelajaran pun hinggap. Adam lebih senang bergaul dengan ponsel daripada berteman buku pelajaran.
Pantas, sebab selama ini, ponsel adalah kawan setia sekaligus tempat ia lari dari rasa sepi. Buku pelajaran tak pernah hadir dalam kehidupan Adam.
Jangankan berkawan buku pelajaran, berkawan sesama manusia pun Adam enggan. Suka menyendiri. Bahkan perangai garesif kerap muncul.
Les dan bimbingan belajar privat sudah banyak dicicipi. Namun tak satu guru les pun berhasil membuat Adam betah berkawan buku pelajaran. Tiap kali menjalani les, Adam selalu jengah.
Belajar itu Proses
Tak sedikit orangtua menyalahkan anak lantaran putra dan putrinya miskin minat belajar.
Orangtua lain secara membabi-buta menyalahkan perkembangan teknologi informasi. Melabeli ponsel, aplikasi, media sosial, serta setiap perkembangan teknologi informasi sebagai produk negatif, berbahaya dan wajib dienyahkan jauh-jauh dari kehidupan anak.
Tanpa sedikit pun mawas diri. Menoleh ke belakang, merunut kembali akar permasalahan pemicu sumbu permasalahan itu.
Maniak ponsel dan sikap suka belajar itu kebiasaan. Dibentuk oleh perbuatan atau rutinitas yang dilakukan setiap hari.
Rutinitas pembentuk kebiasaan seperti itu seharusnya dibangun oleh orangtua. Rumah adalah tempat belajar utama. Di dalamnya, atmosfer penuh gairah belajar harus senantiasa diembuskan.
Rutin berkawan ponsel dapat menjadi kebiasaan. Ketika hal itu dilakukan dalam kurun waktu lama, maka selanjutnya bisa menjadi kebiasan.
Kebiasaan itu lama kelamaan mengendap. Mengejawantah sebagai karakter, sikap atau ketergantungan.
Teknologi informasi memang tak bisa dihindari. Akan tetapi, anak harus dibimbing memanfaatkan teknologi informasi. Agar setiap keputusan yang dipilih dapat bersifat cerdas dan bijak.
Ponsel, game, dan berbagai menu entertainmen di dalamnya bukan lah alat penyuap anak. Juga bukan perangkat pembungkam anak. Menyupal saat mereka merengek minta diperhatikan dan kasih sayang.
Menyodorkan ponsel kepada anak dengan alasan agar tak merengek, kemudian membiarkan mereka berpetualang sendirian di dunia maya, adalah sama artinya melepaskan anak berkelana di hutan belantara.
Di dunia maya, mereka masih buta medan. Tak menyadari ancaman curamnya jurang, seramnya lembah hitam, serta mahluk buas pun culas yang menghuni di dalamnya.
Bimbingan dan pendampingan itu dibutuhkan anak. Butuh adaptasi dan proses belajar berkawan dengan dunia maya.
Anak yang rutin dibiasakan belajar sejak berusia dini, akan tertatik kepada materi-materi pembelajaran.
Meskipun bersinggungan dengan ponsel, anak bermental terpelajar cenderung menyukai materi-materi terkait ilmu pengetahuan. Enggan bersingungan dengan materi bertema lain, terutama konten negatif.
Selain itu, anak yang terlatih memanfaatkan internet tahu kapan saat yang tepat ia harus menggunakan internet.
Baginya, internet adalah alat. Bukan sebuah candu yang mengakibatkan ketergantungan. Mereka arif, bijak, dan cerdas menyikapi perkembangan terknologi informasi.
Konten negatif itu tak jauh berbeda dengan tutur kata. Anak yang sejak kecil tak terbiasa mendengar umpatan sarkastik, merasa tak nyaman saat mendengar kata-kata jorok itu.
Sementara itu, anak yang terbiasa berkubang dalam kata-kata kotor, sama sekali tak risih mendengar bahkan malah gemar melontarkan kata-kata seperti itu. Mereka menganggap umpatan sebagai simbol keakrapan dan persahabatan. Dalam tangan mereka, degradasi nilai sosial dibentuk.
Sementara itu, anak yang tumbuh dalam lingkungan positif, cenderung memilih perilaku positif, bermanfaat, serta dapat menjadi motivasi baginya agar dapat terus berkembang. Merasa risih dengan perilaku maupun tindakan negatif tak berfaedah.
Perilaku anak berakar dari kehidupan sehari-hari di rumah. Oleh karena itu, ketika anak berperilaku menyimpang, hendaklah orangtua mawas diri.
Mengkambing hitamkan segala sesuatu justru membuat permasalahan kian jauh dari solusi.
Sementara itu, sikap acuh dan bebal orangtua itu bagai penyakit yang tak segera diobati.
Pelan-pelan menggerogoti. Setelah kondisinya parah, orangtua pun terperangah (orangtuaidaman.com)