CANDI ITU GUNUNG MERU, BUKAN KUBURAN
CANDI DIBANGUN UNTUK MENGHORMATI RAJA DAN RATU YANG SUDAH MENINGGAL.
Kata “candi” berasal dari kata candikagrha. Yaitu tempat tinggal Dewi Kematian sekaligus permaisuri Siwa bernama Candika.
Banyak orang menanggap candi sebagai bagunan yang didirikan untuk keperluan pemakaman. Bahkan, ada pula anggapan bahwa candi adalah pemakaman.
Candi Bukan Makam
Meskipun candi bertalian dengan kematian, namun sesungguhnya candi bukanlah bangunan tempat pemakaman atau kuburan.
Candi dibangun sebagai tempat pemujaan dan memuliakan raja ataupun ratu yang sudah meninggal.
Saat itu, raja diparcaya sebagai titisan dewa. Wakil para dewa di bumi. Berkuasa atas manusia dan melindungi jagad bagi para dewa.
Ketika raja mangkat, ia bersatu kembali dengan para dewa penitisnya. Lantas sosok raja itu dimanifestasikan dalam wujud sebuah arca yang melambangkan dewa penitisnya.
Arca itu ditempatkan dalam sebuah ruang tengah candi. Menjadi fokus pemujaan. Arca berfungsi sebagai sarana dan sasaran konsentrasi kepada Tuhan (dewa) dalam pemujaan.
Dalam agama Hindu, arca tak lain adalah Murti (Dewanagari: मूर्ति), atau murthi. Merujuk kepada citra yang menggambarkan Roh atau Jiwa Ketuhanan (murta).
Dengan demikian, melalui citra yang disimbolkan arca itu Roh atau Jiwa Ketuhanan dihadirkan melalui konsentrasi doa dalam sebuah upacara keagamaan. Arca adalah sarana berdoa.
Sementara itu salah satu fungsi utama candi yaitu untuk melindungi arca dari cuaca dan pandangan rakyat jelata. Jiwa dewa tidak tinggal di dalam arca sepanjang waktu. Oleh sebab itu, sang dewa harus diundang melalui upacara agar turun dan menghuni arca tersebut untuk sementara waktu.
Pada saat itu, arca boleh dilihat oleh para pemuja, tetapi hanya pendeta yang diperbolehkan memasuki ruang pemujaan.
Candi dan Elit Penguasa
Konsep dasar rancangan candi Klasik Indonesia adalah keinginan menciptakan tiruan gunung tepat di pusat alam semesta, tempat apara roh dewa dapat dibujuk agar menjelma menjadi patung afau lingga yang ditempatkan yang ditempatkan di dalam ruangan yang menyerupai gua.
Arsitektur Indonesia Klasik paling awal terdiri atas tempat suci Hindu, dibangun di antara gunung-gunung api yang tersebar di Jawa Tengah. Candi dibangun di atas landasan kepercayaan bahwa gunung merupakan tenpat kekuatan adikodrati.
Setelah “elit” yang berkuasa pada zaman itu mulai membangun candi-candi megah, selanjutnya bangunan keagamaan ini pun menyebar ke daerah dataran rendah.
Penyebar luasan candi ini didorong oleh semangat membuat tempat keagamaan lebih mudah dicapai masyarakat umum. Disamping itu, saat itu candi juga menjadi salah satu bentuk pengakuan masyatakat terhadap “elit” penguasa bahwa relasi dengan kekuatan dewa secara nyata menambah kekuasaan duniawi mereka.
Candi dan Gunung
Beberapa prinsip yang melatarbelakangi bentuk candi Indonesia adalah kepercayaan pribumi kepada kekuatan tertinggi yang ada dalam nenek moyang dan gunung.

Prasasti-prasasti Jawa kuna seringkali menyebut candi sebagai gunung. Pemuliaan gunung dilakukan sejak zaman prasejarah. Mitologi India pun mengandung unsur-unsur yang segera dikenali oleh orang Jawa.
Dalam mitologi Hindu-Budha, Gunung Meru adalah sebuah gunung di pusat jagad yang berfungsi sebagai pusar bumi. Gunung tersebut muncul dari dalam bumi, kemudia mencapai tingkat tertinggi surga.
Gunung juga merupakan tempat tinggal para dewa. Oleh karenanya gunung kosmis merupakan lambang alam semesta. Candi dan hiasan arsitekturnya dapat ditafsirkan berdasarkan perlambang tersebut.
Ciri Khas agama Hindu Jawa tengah yaitu penekanan pada Brahma, sehingga dibuatka candi tersendiri di gugus Lara Jonggrang. Candi untuk Brahma jarang sekali dibuat di India.
Di Indonesia, Brahma dihubungkan dengan gunung-gunung api, yang tidak ada di India. Candi-cadsi untuk vahana “kendaraan” dewa seperti di Lara Jonggrang juga tidak lazim di India.
Sistem penempatan beberapa deret candi-candi kecil membentuk bujur sangkar mengelilingi gugus tengah seperti di Prambanan juga tidak ditemukan di India. Sistem Prambanan mungkin diambil dari gugus Budha Candi Sewu di dekatnya.
3 Dunia Adalah Semesta
Ketiga tingkat candi mewakili triloka, yaitu tiga dunia yang kesatuannya merupakan alam semesta. Bagian kaki candi mewakili dunia manusia, dinamakan bhurloka. Tingkat di atasnya, badan candi bhuvarloka atau dunia untuk yang disucikan.
Disinilah seorang pemuja dapat berelasi dengan dewa melalui spemujaan, sebaliknya sang dewa menerima pemujaan. Tingkat tertinggi yaitu atap candi, mewakili dunia dewa-dewi atau suarloka.
Keistimewaan arsitektur candi dirancang untuk menekankan makna perlambangnya sebagai tiruan Gunung Meru.
Bagian dasar candi didominasi oleh rangkaian hiasa pembingkaia mendatar di bagian permukaannya. Disini, mayoritas pahatan berupa pola bangun berulang dan taru. Sementara itu dinding badan candi dipenuhi segala macam corak dan rancangan dengan tujuan menciptakan suasana “dunia lain”.
Unsur-unsur seperti kala-makara menghiasi pintu masuk serta relung-relung candi. Menurut salah satu cerita, Kala merupakan makhluk legenda yang diciptakan oleh Siwa untuk membunuh seorang raksasa.
Menurut versi lain, kala merupakan wujud iblis bernama Rahu yang mencuri air keabadian. Kepalanya dipenggal oleh dewa, tetapi karena sudah meminum sebagian air keabadaian, ia tak dapat mati.
Oleh sebab itulah Kala dalam seni pahat kuna dibuat tanpa rahang bawah, tetapi pada masa kemudian rahangnya ditampilkan lagi. Muncul berbagai variasi seperti kaki depan atau hiasan mewah bermata satu.
Makara merupakan binatang mitologi berbelalai gajah, bersurai singa, berparuh burung nuri, dan berekor seperti ikan. Semua itu merupakan lambang air dan simbol birahi.
Bendera melambangkan kama dewa cinta, dihiasi makara. Patung makara ditemukan di gapura sebagaian besar candi klasik awal. Makara jarang ditemukan di candi-candi klasik akhir Jawa, tetapi tidak demikian dengan candi-candi di Sumatera yang terus menggunakannya.
Adegan-adegan yang menggambarkan gandharva, vidyadhara, dan makhluk-makhluk sorga yang terbang melayang, sederetan naga menyangga seuntai teratai, ukiran mewah pada panel dan antefix (Antefiks atau simbar adalah hiasan berbentuk seperti segitiga pada bagian luar atap suatu bangunan), serta banyak hiasan lain dimaksudkan untuk melukiskan dunia fana.
Tiga lapis atap candi serta bubungan yang disusun di sekeliling dan di bawah puncak candi melambangkan puncak Gunung Meru.
Nah, semoga sekarang menjadi lebih tahu tentang candi (orangtuaidaman.com)
Sumber:
INDONESIAN HERITAGE: SEJARAH AWAL
WARNA-WARNI BUDAYA NUSANTARA
HINDU NUSANTARA vs HINDU INDIA
KONSEP-KONSEP DAN KEAHLIAN TEKNIK HINDU DILOKALKAN DAN DIELABORASI KEMBALI. MENJADI…
TONG SETAN: DARI MOTORDOME, WALL OF DEATH SAMPAI TONG EDAN
APA PUN SEBUTANNYA, WAHANA YANG SATU INI SELALU MERAMPAS ANTUSIAS…
LAWANG SEWU: GEDUNG TUA ITU DIPENUHI PESONA CERITA KERETA
KATA ORANG, LAWANG SEWU TIDAK COCOK BAGI ANAK KECIL. NYATANYA,…
BATIK TRUSMI: KAIN WARNA-WARNI YANG TERUS BERSEMI
KECAMATAN PLERED ADALAH SALAH SATU GUDANG BATIK DI CIREBON. BATIK…
KLENTENG SAM PO KONG: CAMPURSARI BUDAYA TIONGKOK DAN JAWA
ISLAM, BUDDHA, KONGHUCU, JAWA, DAN TIONGKOK MENJADI WARNA-WARNI MEGAH KLENTENG…
RAMAYANA KAKAWIN: RAMAYANA ALA ORANG INDONESIA
KISAH RAMAYANA YANG HIDUP DI DUNIA PERWAYANGAN ANAK NEGERI ITU…