ILMIAH POPULER

MERENCAH PANDEMI CORONA: KELELAWAR DAN VIRUS COVID-19 TAK BOLEH PUNAH

ORANGTUA IDAMAN – Seharusnya, hewan vektor beserta virus yang ditularkan tak boleh diberantas sampai punah. Mereka punya fungsi spesifik dalam ekosistem.

Tak bisa dipungkiri, pandemi corona menggoreskan jejak duka bagi yang kehilangan sanak keluarga. Serta kemudaratan kehidupan perekonomian. Namun, di sisi lain, pandemi Covid-19 sesungguhnya mendorong umat manusia berevolusi. Masuk ke dalam peradaban lebih kuat.

Hubungan antara manusia dengan mikroorganisme penyebab penyakit (patogen) itu sudah berevolusi dan berlangsung lama. Sejak melakukan domestikasi, manusia berkenalan dengan beragam jenis patogen hewan yang menular ke manusia (zoonosis).

Beraneka jenis hewan yang diperjual belikan di pasar hewan Pecangaan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
(Kredit foto: koleksi pribadi Teguh JB)

Upaya domestikasi hewan pelan-pelan merombak kebiasaan berburu menjadi beternak. Tak hanya sekadar dijinakkan, bermacam satwa itu diadaptasikan melalui serangkaian usaha pemuliaan. Diantaranya yaitu seleksi dan persilangan. Bertujuan untuk memperbaiki sifat keturunan hewan yang dibudidayakan.

Bersama MSIG Indonesia, artikel ini ditulis dalam rangka memberikan edukasi kepada masyarakat. Pandemi COVID-19 tidak muncul begitu saja. Melainkan mata rantai yang saling berhubungan dengan segala unsur lingkungan di bumi. Pandemi COVID-19 menyadarkan kita terhadap makna penting pelestarian lingkungan. Sehingga kita menjadi semakin arif melihat arti lebih dalam segala hal. Demi masa depan yang berkelanjutan serta kelangsungan hidup generasi mendatang.

MSIG Indonesia adalah perusahaan Asuransi Umum (Asuransi Umum adalah Asuransi yang memberikan ganti rugi kepada Tertanggung atas kerusakan atau kerugian harta benda)

Zoonosis yang Terlupakan
Sejak dulu, karakter ekonomis adalah variabel utama pemuliaan hewan. Misalnya: laju pertumbuhan, kepridian, dan usia panen. Karakter daya tahan terhadap penyakit juga tak luput menjadi sasaran penting pemuliaan hewan. Namun, upaya pemuliaan dari sisi ketahanan terhadap penyakit hanya sebatas pada jenis patogen yang berpengaruh terhadap hasil panen.

Pemuliaan yang menitikberatkan upaya penanggulangan risiko zoonosis minim dilakukan. Abai terhadap faktor kesehatan dan keselamatan lingkungan.

Hewan domestikasi berisiko menjadi sumber penular penyakit zoonosis. Namun, ternyata mereka juga terbukti menghasilkan penyembuhan. Edward Jenner adalah penemu vaksin pertama di dunia. Berbekal keanekaragaman hayati mikroorganisme, dokter berkebangsaan Inggris ini sukses menjadi pelopor penjinak virus mematikan.

Keanekaragaman Hayati Gudang Peluang
Jenner menciptakan vaksin virus smallpox yang mematikan dengan bantuan virus cowpox yang tidak mematikan. Sebelumnya, Jenner mengamati seorang yang tertular virus cacar sapi (cowpox) ternyata tidak terdampak penyakit cacar smallpox.

Berdasar hasil pengamatan itu, Jenner melakukan eksperimen yang berani. Ia mengambil cairan dari benjolan di tangan pemerah susu sapi yang tertular cowpox. Kemudian menyuntikkan cairan itu ke tubuh seorang anak laki-laki. Hasilnya, anak itu tertular cowpox. Setelah 6 minggu, Dokter nekat tersebut menyuntik anak laki-laki itu dengan cairan berisi virus mematikan smallpox. Jenner ternyata berhasil, anak itu tidak jadi mati lantaran tertolong cairan virus cowpox.

Serupa dengan eskperimen yang dilakukan Jenner, berbagai pengkajian virus corona juga sudah dilakukan. Salah satunya dituangkan dalam jurnal yang diterbitkan laman nature.com. Riset itu mengungkap virus penyebab COVID-19 punya keanekaragaman. Kelelawar dianggap sebagai resevoir bagi banyak jenis virus corona (CoV). Di dalamnya termasuk nenek moyang Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) – CoV dan SARS-CoV-2 agen pemicu COVID-19.

Penelitian lain memamparkan simbiosis beragam SARS-CoV dalam populasi kelelawar penghuni gua di provinsi Yunnan, Cina. Riset ini sekaligus menjadi informasi pertama mengenai ACE2 manusia (angiotensin-converting enzyme 2) sebagai reseptor virus mirip SARS-Cov (Ge dkk. 2013; Hu dkk. 2017).

Gambar: Keanekaragaman Virus Hewan Kelompok Taksonomi Utama. Di dalamnya terdapat Coronaviridae.
(Sumber: Volk & Wheeler, Mikrobiologi Dasar, Erlangga, 1988)

Jurnal Nature Communication memamparkan sebuah penilitian yang dilakukan di Chulalongkorn University, Bangkok menemukan virus mirip virus SARS-CoV-2. Mahluk samar-samar antara hidup dan mati itu ditemukan di dalam darah jenis kelelawar tapal kuda (Rhinolophus). Ia diberi nama RacCS203. Penelitian lebih lanjut menunjukkan virus itu membawa 91,5 persen kode genetik SARS-CoV-2.

Akan tetapi, hasil penelitian itu mengungkapkan bahwa virus baru tersebut punya reseptor berbeda dengan reseptor milik virus SARS-CoV-2. Sehingga membuatnya tidak bisa menginveksi manusia. Antibodi dalam darah kelelawar yang terinfeksi RacCS203 mampu menetralkan virus SARS-CoV-2.

Fakta dari serangkaian hasil penelitian di atas membuktikan begitu pentingnya keanekaragaman hayati. Banyak sekali potensi yang bisa digali dan dapat menyokong peradaban manusia.

Penelitian yang sudah dilakukan itu seharusnya mampu mengusik ilmuan di Indonesia, agar melakukan riset yang memanfaatkan keanekaragaman hayati. Dalam hal ini yaitu keanekaragaman virus, maupun keanekaragaman kelelawar.

Ular Bungarus multicinctus atau Chinese krait diduga menjadi sumber asli virus corona. Ular ini kerabat dekat ular weling di Indonesia (Bungarus candidus).
(Kredit Foto: flickr.com)

Di luar tubuh kelelawar, virus SARS-CoV ternyata juga berinteraksi dengan berbagai jenis mahluk hidup lain. Diantaranya yaitu musang palem Himalaya (Paguma larvata), dan rakun (Nyctereutes procyonoides). Bahkan peneliti biosistematika vertebrata Pusat Penelitian Biologi LIPI, Sigit Wiantoro mengatakan bahwa virus COVID-19 juga berinteraksi dengan ular Bungarus multicinctus dan Naja atra atau Kobra Cina.

Interaksi virus COVID-19 dengan beragam jenis hewan itu menghasilkan antibodi yang spesifik. Menyodorkan segudang peluang bagi kehidupan manusia.

Hama: Pola Pikir Yang Harus Diberangus
Jalan instan kerap menjebak langkah manusia. Sama seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Solo pada, Sabtu (14/3), yang membantai ratusan kelelawar jenis kalong dan codot di Pasar Binatang Peliharaan Depok. Keputusan tersebut analogis dengan pemberian label “hama” terhadap hewan yang merugikan manusia. Kemudian karena sudah dianggap merugikan, hama itu harus diberantas.

Pola pikir seperti ini berbahaya bagi kelestarian mahluk hidup dan lingkungan. Populasi suatu jenis hewan melonjak, kemudian dianggap merugikan tentu ada penyebabnya. Ledakan populasi suatu jenis mahluk hidup kerap dipicu oleh ketidak seimbangan ekosistem. Sehingga, pemberantasan suatu jenis mahluk hidup yang dianggap hama malah berpotensi memicu masalah baru.

Seharusnya, hama, dan bahkan virus yang bersifat patogen (penyebab penyakit) pun tak boleh diberantas hingga punah. Sebab, mereka memiliki fungsi spesifik dalam ekosistem. Pola pikir egois dari manusia lah yang seharusnya diberantas. Sebab, pola pikir tersebut yang mengakibatkan ketidak seimbangan ekosistem. Pada gilirannya, wabah penyakit, bencana alam, dan kelaparan yang akan membungkam pola pikir jalang pun egois itu.

George N. Agrios dalam bukunya berjudul Ilmu Penyakit Tumbuhan memaparkan epidemi penyakit terjadi akibat kombinasi berbagai unsur pada waktu yang tepat. Beberapa unsur epidemi tersebut meliputi: patogen, inang, lingkungan, dan manusia.

Gambar Tetrahedron Penyakit.
(Sumber: George N. Agrios, Ilmu Penyakit Tumbuhan, Gadjah Mada University Press, 1996)

Sebagai salah satu unsur epidemi, lingkungan punya pengaruh besar. Epidemi memuncak apabila kerentanan inang diiringi tingkat keganasan (virulensi) patogen meroket. Begitu juga jika kondisi lingkungan mendekati tingkat paling ideal bagi pertumbuhan dan penyebaran patogen. Kondisi lingkungan juga dapat berpengaruh terhadap daya tahan inang.

Pandemi COVID-19 yang terjadi sekarang salah satunya dipicu oleh kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan penyebaran virus SARS-CoV-2. Perilaku manusia turut mendukung penyebaran virus ganas ini. Mobilitas manusia yang dilatar belakangi aktivitas ekonomi, menjadi sarana penyebaran virus SARS-CoV-2.

BACA JUGA: FAKTOR PEMBATAS: ALAT ALAM MENJAGA KESEIMBANGAN

Cuaca ekstrim akibat kerusakan lingkungan bak pedang bermata dua. Satu sisi mengakibatkan penurunan daya tahan manusia. Sehingga menjadi rentan tertular patogen. Sedang sisi yang lain mengubah patogen menjadi virulen dan bertumbuh pesat. Jika tak bijak, ekonomi dan ekologi kerap berbenturan.

Satwa Liar Bukan Kuliner
Proses evolusi menjadikan manusia punya sifat-sifat yang menguntungkan. Dari sisi kecerdasan, manusia mengalami perkembangan. Salah satunya ditunjukkan melalui perkembangan peradaban. Perubahan kebiasaan berburu menjadi beternak adalah contoh nyata hasil evolusi kecerdasan manusia.

Namun, dewasa ini ada kecenderungan tren berburu dan menyantap satwa liar. Fenomena ini membuat manusia seolah-olah mengalami kemunduran kecerdasan. Kembali kepada masa meramu dan berburu.

Kepala Ular Kobra Jawa  (Naja sputatrix) usai disembelih. Foto diambil dalam sebuah pameran flora dan fauna di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Naja atra atau Kobra Cina menjadi salah satu vektor virus COVID-19.
(Kredit Foto: Koleksi pribadi Teguh JB)

Meskipun belum bisa dipastikan, disinyalir penyebaran virus COVID-19 berawal dari pasar yang menjajakan satwa liar. Sebuah penilitian mengungkapkan penularan pertama virus ke inang manusia mungkin terjadi di China selatan di provinsi Guangdong. Bersumber dari pasar yang menjual kelelawar, musang palem Himalaya (Paguma larvata), dan rakun (Nyctereutes procyonoides), dua yang terakhir di antaranya dijual di pasar hewan eksotik.

BACA JUGA: HOMEOSTATIS: BEGINI MEKANISME UMPAN BALIK KESEIMBANGAN POPULASI TERJADI

Pasar semacam itu banyak ditemukan di Indonesia. Contohnya yaitu Pasar Beriman, di Tomohon, Sulawesi Utara. Pemerintah seharusnya menerbitkan regulasi pengatur perdagangan hewan. Satwa yang diperjual-belikan wajib berasal dari penangkaran (bukan satwa liar). Sementara itu, penangkaran harus mengantongi izin dari pemerintah, serta mematuhi persyaratan penangkaran yang baik dan benar. Utamanya dalam hal biosecurity pencegahan penyakit zoonosis.

Ular Kobra yang sudah dikeringkan. Dijual dan dipercaya sebagai ramuan obat. Foto diambil dari Pasar Hewan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
(Keredit foto: Koleksi pribadi Teguh JB)

Kebiasaan menyantap satwa liar kerap dikaitkan dengan khasiat yang dikandung daging suatu jenis hewan. Padahal, khasiat itu banyak yang masih bersifat empiris. Belum bisa dibuktikan secara klinis. Sehingga justru dapat berdampak tak baik bagi kesehatan. Dibutuhkan edukasi dari banyak pihak untuk menumbuhkan kesadaran tersebut.

Memperkuat Benteng Biosecurity
Penyebaran penyakit yang berubah menjadi ledakan pandemi telah mengganjal perputaran roda perekonomian. Ironisnya, penyakit itu justru ditabur oleh aktivitas manusia saat menjalankan kegiatan ekonomi.

Keputusan pemerintah merangsang sektor pariwisata pada saat awal pandemi COVID-19 merebak sebenarnya tak harus menjadi polemik. Andaikan saat itu Indonesia punya sistem biosecurity mumpuni, mungkin pandemi COVID-19 tak separah ini, perekonomian pun tak selemah sekarang.

Faktanya, ketika kita hilir mudik ke luar negeri, persyaratannya adalah paspor dan visa. Surat kesehatan tak pernah dipersoalkan. Demikian pula dengan pemeriksaan. Narkoba, senjata, dan barang mudah terbakar menjadi fokus utama. Tak ada pemeriksaan kesehatan. Akibatnya, COVID-19 dengan mulus menyusup ke tanah air.

Pendemi corona memberi pelajaran positif bagi kita. Sertifikasi kesehatan, dan karantina mendesak agar segera dibangun. Menjadi benteng guna memastikan orang yang hilir-mudik bebas penyakit.

Penyebaran patogen tak hanya dipicu oleh mobilitas manusia. Namun juga oleh organisme yang diperjual-belikan. Satwa, tumbuhan, benih, dan produk pertanian lain berpotensi menjadi vektor penyakit.

Potensi penularan COVID-19 juga dimungkinkan melalui gaya hidup. Salah satunya yaitu adanya tren hobi memelihara satwa liar sebagai binatang kelangenan yang eksotis. Hal ini menjadikan manusia kian berdekatan dengan vektor penularan. Salah satu jenis satwa liar yang banyak diminati penggemar satwa eksotis adalah musang.

Biosecurity seharusnya menjadi program ketahanan dan keamanan negara. Sebab, berbagai kemungkinan itu bisa terjadi. Salah satunya adalah perang biologi. Ancamannya tak harus berupa patogen virulen yang mematikan manusia. Namun penyakit yang berpotensi menghancurkan hewan ternak dan tanaman pertanian. Jika hal itu terjadi, maka muncullah kerawanan pangan. Perekonomian goyah, pada gilirannya kondisi sosial politik bergejolak.

Keanekaragaman menyajikan 1001 peluang dan jalan keluar. Penelitian para ilmuwan seharusnya tumbuh subur di dalamnya. Tak dimandulkan oleh kepentingan ekonomis dan politis yang sempit (orangtuaidaman.com)

Sumber
Ge X, Li J, Yang X, et al. Isolation and characterization of a bat SARS-like coronavirus that uses the ACE2 receptor. Nature. 2013;503:535–538.[PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

George N. Agrios, Ilmu Penyakit Tumbuhan, Gadjah Mada University Press, 1996.

Triharso, Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman, Gadjah Mada University Press, 1996.

Volk & Wheeler, Mikrobiologi Dasar, Erlangga, 1988

Suwasono Heddy, Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi Suatu Bahasan Tentang Kaidah Ekologi dan Penerapannya, Rajawali Pers, 1994.

Berbagai sumber lain.

error: Content is protected !!