PAK GURU, TOLONG BEBASKAN SAYA DARI JEBAKAN BATMAN TRENDING TOPIK
ORANGTUA IDAMAN – Tak selamanya segala sesuatu yang tren itu baik dan benar. Begitu pula dengan berita, kabar yang bertengger di halaman pertama Google itu tak selalu benar dan akurat.
Padahal, anggapan seperti itu sudah terpola sejak sebuah berita “dijahit” di meja redaksi. Redaktur dan wartawan senantiasa sibuk menyusun strategi memenangkan perebutan ranking halaman pertama Google.
Bahkan, konon sebuah media senior terkenal mengukur kualitas berita para reporter hanya berdasarkan jumlah page view. Sementara keakuratan menjadi kerap digadaikan.
Untuk menarik perhatian pembaca, framing dan pemangkasan berita akhirnya menjadi terlalu sering dilakukan. Berita tak lagi disajikan secara utuh. Tuntutan page view juga membuat percik berita menyematkan judul tak sesuai isi tulisan (klick bait)
Padahal, berita seharusnya diramu dan disajikan secara utuh dari jalinan peristiwa atau fakta yang saling berhubungan, saling mempengaruhi, dan saling mendukung.
Ketika pengebirian fakta terjadi, fokus penggarapan sebuah berita menjadi rawan dipelintir. Bahkan peran media massa akan terpeleset menjadi penyedia hiburan bagi masyarakat. Mengejar rating yang hanya berorientasi keuntungan finansial. Menjadi budak advetorial.
Akhirnya, media hanya sebatas pelayan dan pemuas hiburan bagi masyarakat. Tak lagi menjadi terang dan kontrol sosial.
Bayangkan satu generasi dikondisikan untuk mengklik tautan pertama yang muncul di Google. Tanpa memperhatikan validitas sumber. Bayangkan sebuah generasi dikondisikan menjadi gampang percaya bahwa apa pun di media sosial itu benar.
Tokoh Bukan Panutan
Saat ini, anak-anak tumbuh di antara banyak tokoh tak baik. Tokoh itu rajin berkicau melalui sosial media maupun media massa mainstream. Saling berteriak, memotong, mencela pembicaraan satu sama lain.
Bukannya memberikan solusi, malahan menyebar kebencian, menjebak, menjegal, bahkan sabotase. Semua demi motif ekonomi, dan politik.
Tak hanya di media sosial, perangai seperti itu juga dipertontokankan dalam siaran langsung di tivi, ketidak sopanan dalam sidang pengadilan, saling lempar umpan, provokasi, dan balasan wacana politik tak berdasar.
Riuhnya suasana di dunia maya membuat siapa saja menjadi mudah terjebak.
Jujur saja, sebagian besar dari kita tidak punya waktu untuk melacak sumber primer, melakukan cek ulang, dan memverifikasi setiap klaim di media sosial.
Klaim susu yang dapat menyembuhkan penyakit akibat virus yang ditanggapi oleh kepanikan dan berujung dalam histeria massa, adalah salah satu fakta dan bukti begitu rapuhnya kita di hadapan peramu berita palsu (hoax).
Berpikirlah Terbuka
Demokrasi, kebebasan berpendapat dan bersuara itu bukan lantas setiap orang dapat seenaknya berpendapat berdasarkan pemikiran serta opini pribadi semata. Memaksakan pendapat sembari mengintimidasi dengan slogan populer “no debat”.
Atau, malahan menyebar berita palsu (hoax) untuk membentuk opini massa, kemudian diarahkan menuju target politik maupun target ekonomi.
Demokrasi terwujud ketika kita didorong keluar dari ruang gema diri sendiri. Secara kritis memeriksa dunia di sekitar kita. Budaya seperti ini seharusnya dilatih sejak usia dini. Sekolah dapat mengambil peran tersebut.
Hendak lah sekolah mampu mendorong siswa aktif terlibat dalam diskusi sosial kemasyarakatan, mencermati sebuah permasalahan masyarakat, menganalisa dengan kaidah ilmiah dan menjadikannya sebagai riset.
Mendorong siswa terjun langsung ke dalam masyarakat dengan bekal kaidah ilmiah adalah cara yang baik untuk menangkal masifnya berita hoax.
Sekolah hendaknya dapat menjadi agen pembenah bangsa. Mempersiapkan semua siswa agar dapat berpikir kritis dan tumbuh dewasa. Agar berkemampuan membantu memecahkan masalah sulit yang dihadapi bangsa kita.
Mencermati dan mempelajari fenomena yang terjadi dalam masyarakat kemudian mengupasnya dengan kaidah ilmiah, dapat membuat siswa memahami perbedaan antara fakta, pendapat (opini), dan kebohongan (hoax).
Berlatih Bersikap Kritis
Sebuah studi Stanford mengungkap ketidakmampuan banyak siswa mengidentifikasi sumber berita kredibel.
Ada baiknya guru mengajak siswa berlatih mencermati berita. Agar siswa berkemampuan menyaring bias politik.
Salah satu caranya bisa dilakukan melalui belajar berkelompok dan bersiskusi tentang peristiwa terkini dengan tema sama dari beberapa sumber berbeda. Peristiwa itu disusun menjadi sebuah artikel.
Siswa harus memaparkan fakta, argumen yang melatarbelakangi, serta menjelaskan setiap sumber artikel.
Fakta yang menjadi fokus dalam setiap kelompok kemudian dibandingkan. Langkah itu akan menemukan fakta-fakta apa saja yang dipangkas oleh tiap media massa, serta fakta-fakta apa saja yang disuguhkan setiap media massa.
Komparasi tak hanya sebatas dalam tataran materi berita atau fakta-fakta yang disajikan tiap media massa. Namun juga membandingkan tokoh atau pakar yang tampil dalam setiap media massa.
Telaah berlanjut hingga seputar latar belakang tokoh yang bersangkutan. Meliputi arah politik, motivasi bisnis, dan ideologi yang diusung.
Lebih detil, analisa dan riset berlanjut hingga mengupas siapa saja jaringan yang intensif berhubungan dengan tokoh yang bersangkutan, serta berbagai motif terjalinnya hubungan antar jaringan tersebut.
Apabila setiap unsur tersebut memiliki kesesuaian dengan framing atau sudut pandang sebuah berita, maka patut diwaspadai bahwa media tersebut tak obyektif dan tak tulus.
Dengan demikian, siswa dapat memahami bahwa pada dasarnya berita adalah sebuah riset investigatif, yang seharusnya disajikan secara komplit, utuh, mendalam, antara satu fakta dengan fakta lain saling mendukung. Tapa pemangkasan satu fakta pun yang hanya bertujuan untuk membentuk framing, manipulatif, demi motif politik maupun ekonomi.
Bukan hanya sekadar balapan menyodorkan hasil peliputan yang sedang trending. Terlebih-lebih hanya sebatas artikel pesanan yang diframing dari suatu sudut pandang, merelakan dan mengebiri fakta-fakta pendukung lain.
Keterampilan ini dapat diterapkan oleh siswa dalam berbagai aspek. Sehingga mereka akan terlatih berpikir kritis saat menemukan dan menanggapi fenomena yang sedang berkembang di dalam kehidupan bermasyarakat.
Sikap kritis membuat siswa kelak tumbuh menjadi individu yang tak mudah diperdaya dan diperalat. Siswa memiliki kesadaran bahwa tokoh atau siapa pun yang memiliki “panggung” dan “mimbar” yang membuat mereka bisa berbicara dan menjadi pusat perhatian masyarakat, bukan berarti tokoh itu selalu lebih cerdas atau lebih benar.
Akhirnya, bagi siswa yang kritis, hoax, berita palsu, dan berita tak tulus yang diframing serta tendensius tak lebih hanyalah sekadar lelucon (orangtuaidaman.com)
Sumber: Education Post