BISNIS BAKAR UANG: BIJAK DI BALIK HISTERIA PAMOR ANTHURIUM
ORANGTUA IDAMAN – Kabar burung janji untung Janda Bolong pernah riuh. Gelombang tren itu mirip geliat Anthurim beberapa tahun lalu. Namun akhirnya dunia tanaman hias sepi kembali.

Pertengahan tahun 2006, nama anthurim pernah menjadi sebuah fenomena. Bagaimana tidak, tanaman berdaun tebal ini pernah dibanderol seharga hingga Milyaran Rupiah. Tak sedikit orang yang tergiur menggelutinya. Golongan awam yang sebelumnya tak pernah bersinggungan dengan bisnis tanaman hias pun ikut berebut rejeki dari kilau helai daun anthurium.
Banyak pengusaha tanaman meraup untung dari tanaman ini. Namun tak sedikit pula yang buntung. Puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah raib tak bersisa akibat membabibuta terjun berbisnis anthurium.
Bagi mereka yang mengetahui peta dan arah arus tren tanaman hias, bencana kerugian bisa dielakkan. Namun bagi kaum awam yang hanya membebek, dapat dipastikan menjadi bulan-bulanan bisnis kagetan ini.
Kalau mau mencermati, “epicentrum” tren bisnis anturium tercium pekat di kawasan Jawa Tengah. Utamanya di kawasan Karang Anyar (Tawangmangu) Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Di kedua lokasi tersebutlah, bisnis anthurium digoreng matang.
Arus perdagangan anthurium mengalir deras menuju kawasan tersebut. Hal ini mengakibatkan stok anthurium di luar Yogyakarta dan Karanganyar menipis. Alhasil, harga anthurium pun meroket. Stok athurium ditimbun oleh sepekulan sekaligus penggoreng bisnis tanaman hias di Karanganyar & Yogyakarta.
Para pemborong sekaligus penggoreng bisnis anthurium itu berhasil menciptakan sebuah isu sekaligus sebuah hysteria. Massa yang mudah panik menjadi korban empuk. Mereka adalah para sepekulan, serta golongan pembebek. Masa yang panik, tanpa pikir panjang akan mengeluarkan uang berapapun besar untuk diinvestasikan.
Histeria ini pun telah berhasil menciptakan pasar semu di bidang bisnis anthurium. Rata-rata pelaku bisnis ini adalah pedagang. Sementara Jumlah/persentase end user yang benar-benar menggemari anthurium itu sangat minim. Perputaran barang hanya berkutat antar pedagang dan spekulan. Tak ada pasar yang pasti.
Ketika sebagian besar anthurium telah berada di tangan pemborong dan sang “penggoreng” , harga pasar sudah sangat fantastis. Saat itu pulalah mereka melepaskan satu-persatu anthurium dalam gudang penimbunannya. Jelas, keberuntungan berpihak kepada mereka. Laba puluhan bahkan milyaran rupiah memenuhi kantung mereka. Keberuntungan berikutnya berada di tangan mereka yang tepat memanfaatkan tren. Sementara bagi mereka yang berada di bagian buntut tren, buntunglah yang mereka tuai.
Saat gudang sang pemborong dan sang penggoreng telah kosong, itu berarti athurium telah menyebar kembali di pasar. Suplai athurium kembali pada posisi semula. Harga pun pelan-pelan melorot. Pamor anthurium memudar.
Histeria ini tak sedikit membuat jera bagi pemula yang ingin menekuni bisnis tanaman hias. Bahkan dampaknya membuat image negatif bisnis tanaman hias. Alhasil, dunia tanaman hias menjadi sepi seperti yang terjadi saat ini.



